Sekarang ini lagi hari kedua Lebaran Ied
Mubarak, tapi tetap aja keinget semaraknya Kota Malang saat Romadhon. Jangan
disamain sama Kabupaten Tulungagung loh. Titelnya aja udah beda. Yang satu
Kota, satunya lagi Kabupaten. FYI, perbedaan mendasar kota sama kabupaten itu
salah satunya adalah kecenderungan pekerjaan masyarakatnya. Kota dengan hiruk
pikuk perdagangan dan jasa, sedang kabupaten dengan pengelolaan lahannya, bisa
kering bisa basah yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan mendasar (baca:
pangan). Mudahnya, kota banyak toko, kabupaten banyak sawah dan petaninya. Lha
terus apa bedanya? Tetep beda loh ya. Berarti kota cenderung lebih ramai
ketimbang kabupaten dalam segi kegiatan ekonominya. Begitu juga di Bulan
Romadhon kemarin.
Sebenernya biasa aja sih. Tapi karena itu
tahun pertama saya merasakan Romadhon bukan di tempat kelahiran, jadi rasanya
*ehm* lah ya.
Di daerah dekat kosan saya, sebut saja
Kerto-Kertoan, itu pagi sampai siang hari bisa dibilang cukup sepi. Kawasan
yang warganya banyak menawarkan jasa kos-kosan ini, karena dekat dengan kampus
Universitas Brawijaya, sepi karena sebagian besar warung-warung khas harga
kantong mahasiswa tutup untuk menghormati Bulan Puasa. Namun berbeda lagi kalau
udah mulai jam 4 sore. Jalanan dengan lebar cukup untuk satu setengah mobil ini
*di Kerto-Kertoan* mendadak ramai karena para penjaja ta’jil yang udah pada
menyiapkan dagangan es-es segarnya seperti es buah, es campur, es degan, dsb,
dengan harga kisaran 4 ribu sampai 5 ribu rupiah. Agak mahal sih buat kertas
dengan gambar Pangeran Antasari, tapi buat mereka yang lagi kangen masakan emak
di kampung dan es spesialnya masing-masing, jadi korbanin aja deh kertas-kertas
itu.
Saya cukup sering mampir ke pasar romadhon
ini karena saya juga tergolong dalam KMKME. Biar gimanapun caranya harus dapat
es segar, gimanapun caranya, boleh minjem uang, boleh juga minjem es batunya
aja, bahkan minta-minta sambil nyicipin es yang dibeli sama tetangga kos
saya.KMKME? Kumpulan Mahasiswa Kangen Masakan Emak. Meski itu bukan perkumpulan
yang sebenarnya, tapi misalkan ada yang mau memastikan, saya yakin bakal banyak
yang ngaku, atau mungkin malah semuanya, kalau mereka termasuk juga dalam perkumpulan
ini. *haha*.
Namanya juga pasar, jadinya ada penjual
ada pembeli, ada minuman ada makanan. Tapi ya variasi menu makanan yang ada
nggak sebanyak variasi esnya. Salah satu yang paling sering itu Sabana Fried
Chicken. Menu ayam crispy cepat saji yang dada-nya seharga 8 ribu rupiah dan
nasinya satu porsi 4 ribu ini selalu menjadi opsi saya sekiranya saya seharian
cukup pulas menjalani ibadah tidur saya sampai sore, sampai-sampai belum sempat
pesan makanan yang lebih bersahabat *harganya*. Bahkan sebangun tidur, tanpa
mandi terlebih dulu saya langsung kesana dan bilang, “Sam, dadanya satu,
nasinya dobel”. Biar dompet akhirnya tipis, biarlah, penting minimal usus-usus
saya tidak merasa kekurangan makanan setelah seharian lelah ibadah.
BTW, para penjaja ta’jil ini cukup
berjualan sampai pukul setengah 6 sore aja. Dagangan abis, dan langsung ngacir
juga penjualnya.
(3)
Kabupaten Tulungagung – Sabtu, 18 Juli
2015
No comments:
Post a Comment
Berikan komentar yang sehat dan terlepas dari pesan SARA, SEX, dan POLITIK :)